Fajar Adinugraha

Rabu, 16 Januari 2013

Inseminasi buatan pada domba




























INSEMINASI BUATAN PADA DOMBA


Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Dasar Bioteknologi



Dosen pengampu : Ibu Siti Harnina Bintari
Ibu Enni Suwarsi Rahayu
    Bapak Sumadi



Disusun oleh :
1.   Sri Lestari       4401407010
2.   Fajar Adinugraha  4401407029
3.   Nurul Anisa       4401407051
Rombel 02




JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2010

BAB I

PENDAHULUAN
Inseminasi buatan atau Artificial Insemination adalah proses penempatan semen ke dalam alat reproduksi betina dengan bantuan manusia dengan tujuan agar ternak betina tersebut bunting. Dengan demikian jelaslah bahwa Inseminasi Buatan sendiri tidak dapat memperbaiki mutu ternak akan tetapi Inseminasi Buatan  merupakan cara yang tepat untuk sarana perbaikan mutu genetik ternak.
Tiga hal pokok yang harus dikerjakan dalam melakukan Inseminasi Buatan adalah pengambilan semen, perawatan semen yang terdiri dari pemeriksaan semen, pengenceran semen dan penyimpanan semen serta Inseminasi Buatan. Inseminasi Buatan sendiri memiliki banyak hal yang harus diperhatikan yaitu ketepatan dalam pendeteksian birahi, ketepatan dalam melakukan Inseminasi Buatan. Keberhasilan Inseminasi Buatan sangat menentukan tingkat keberhasilan kebuntingan.
Tujuan dari Praktikum Inseminasi Buatan adalah untuk mengetahui tentang pelaksanaan dan teknik Inseminasi Buatan. Manfaat dari Praktikum Inseminasi Buatan adalah praktikan dapat melakukan Inseminasi Buatan melalui pengenalan alat-alat inseminasi buatan, serta teknik pelaksanaan Inseminasi Buatan melalui metode spekulum dan metode rektovaginal.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Persiapan pejantan yang akan ditampung
Perlakuan yang baik dan hati-hati terhadap pejantan diperlukan untuk memberikan rangsangan sebagai persiapan sebelumnya, karena rangsangan ini akan dapat menaikkan kualitas dan kuantitas semen yang ditampung (Salisbury dan Vandemark, 1985). Pemilihan pejantan yang baik lebih mudah dan lebih cepat dilaksanakan hingga pejantan yang baik dapat di sebarkan bibitnya sewaktu ia berumur muda, hal ini dapat diterangkan sebagai berikut; seekor pejantan dari keturunan baik setelah dewasa di ambil semennya dan disebarkan ke hewan-hewan betina yang berada dalam kondisi yang berbeda (Partodihardjo, 1980).

2.2. Penampungan semen

Penampungan semen dapat dilakukan dengan menggunakan vagina buatan. Penampungan semen dianjurkan untuk menggunakan domba betina pemancing atau dummy. Caranya adalah domba jantan dihadapkan ke domba betina pemancing, sedangkan penampung menyongkok di sebelah kanan domba pemancing (Murtidjo, 1993). Menurut Partodihardjo (1980), penampungan semen dapat dilakukan dengan cara mengurut-urut vesicular seminalis dan ampula utetra ternak jantan dengan tangan yang disebut dengan cara massage atau palpasi dalam. Selain itu dikenal pula cara lain yang menggunakan alat elektris yang disebut elektro ejakulator.
Cara yang lain dapat lakukan dengan menggunakan elektro ejakulator. Elektro ejakulator terdiri dari sebuah transformator yang dihubungkan dengan suatu batang yang disebut rectalprobe, dimana batang ini dilumasi sabun atau bahan pelumas lain kemudian dimasukkan ke dalam rektum sehingga cincin elektroda terakhir tepat di anus. Penis dipegang dengan perban gas steril dan processus filifomis pada ujung penis diarahkan ke tabung sperma untuk mencegah kontaminasi (Murtidjo, 1993). Arus listrik akan merangsang organ reproduksi yang terletak persis di bawah dinding ventral rektum dan menyebabkan timbulnya ejakulasi (Blakely dan Bade, 1998).

2.3. Pemeriksaan semen
Segera sesudah penampungan di adakan pemeriksaan umum terhadap ejakulat di dalam tabung penampung, pemeriksaan ini terdiri dari pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis (Salisbury et al., 1984).
Pemeriksaan semen meliputi pemeriksaan secara makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan semen secara makroskopis antara lain volume semen, warna senem, konsistensi semen, pH semen dan bau semen. Volume semen yang di pancarkan oleh pejantan dapat berbeda-beda menurut umur pejantan, ras hewan, besar dan berat hewan, frekuensi penampungan dan beberapa faktor lainnya. Volume semen terejakulasi pada domba rata-rata 1 ml, jumlah sperma perejakulasi 3.000.000.000, konsentrasi sperma per ml 3.000.000.000 dengan penampungan dalam seminggu 7-25 kali (Partodihardjo, 1980). Kemudian warna semen, Semen yang berwarna hijau kekuning-kuningan biasanya banyak mengandung kuman Pseudomonas auroginosa yang menandakan adanya peradangan yang kronis dalam saluran reproduksinya, semen yang berwarna merah atau kemerah-merahan menandakan bahwa semen itu mengandung sedikit atau banyak darah, semen yang berwarna coklat atau kecoklat-coklatan menandakan bahwa semen itu mengandung darah yang telah hancur atau busuk dan semen yang berwarna krem tua sampai kuning disebabkan oleh banyaknya jumlah pigmen riboflavin yang menurut banyak pendapat tidak berpengaruh pada spermatozoa maupun kesuburan semen (Partodihardjo, 1980). Konsistensi atau derajat kekentalan dari semen dapat diperiksa dengan cara menggetar-getarkan tabung yang berisi semen, semen yang baik kekentalannya hampir sama atau sedikit lebih kental dari susu sedangkan yang jelek baik warna maupun kekentalannya sama dengan air buah kelapa (Partodihardjo, 1980). Kemudian pH semen, pH Semen normal yang dikumpulkan condong ke arah asam dari pH normal dengan variasi sekitar 6,5-6,9 dengan rata-rata sekitar 6,75, tetapi pHnya bervariasi dengan kisaran yang luas yaitu dari sekitar 6 atau di bawahnya sampai 8,0 atau sedikit diatasnya, semen yang berkualitas baik biasanya lebih ke arah asam (pH rendah) dari pada semen dengan konsentrasi spermatozoa yang rendah (Salisbury et al., 1984).
Pemeriksaan semen secara mikroskopis meliputi: menaksir kualitas semen, menaksir prosentase sperma yang hidup dalam semen, menghitung sperma dengan hyemosytometer, menghitung sperma yang hidup dan yang mati dengan pewarna dan melihat morfologi sperma serta menghitung spema yang normal dan abnormal (Partodihardjo, 1980).

2.4. Pengenceran semen
Pengenceran semen segar yang sangat pekat merupakan langkah yang harus dilakukan sebelum suatu ejakulat bisa digunakan pada sejumlah hewan betina, abila semen tersebut akan digunakan segera setelah penampungan pengenceran memakai larutan garam isotonis tetapi bila akan disimpan untuk jangka waktu singkat diperlukan bahan pengencer yang lebih komplek. Penyusun utama bahan pengencer tersebut diringkas sebagai berikut : 1) substrat metabolis (biasanya gula); 2) elektrolit dengan konsentrasi yang tepat guna untuk melindungi spermatozoa terhadap perubahan pH dan tekanan osmose; 3) komponen dengan berat molekul tinggi, seperti yang ada pada kuning telur atau susu untuk melindungi spermatozoa terhadap pengaruh merusak dari pendingin; 4) antibiotik (Hunter, 1995). Fungsi pengenceran yaitu : 1) memperbanyak volume supaya semen yang didapat itu dibagi-bagi untuk memenuhi tujuan, menginseminasi banyak betina dari satu ejakulasi ; 2) pelindung spermatozoa yaitu pengencer harus mengandung komponen-komponen buffer, sehingga dapat mempertahankan pH dalam waktu lama ; 3) sumber nutrisi yaitu mengandung sumber energi yang diperlukan sperma untuk mempertahankan hidupnya dalam waktu lama di luar tubuh ; 4) bakteriostatik atau bakteriside yaitu pengencer harus mengandung zat-zat sehingga jasad renik dalam semen dapat dihentikan aktivitasnya (Partodihardjo, 1980).
2.5. Pembekuan semen


Jerami plastik atau straw yang digunakan berukuran panjang 12 cm atau, dalam bentuk mini, 4 cm, dapat pula straw mini yang panjang seperti straw biasa tetapi volumenya lebih kecil (Toelihere, 1985). Dijelaskan lebih lanjut bahwa salah satu ujungnya disumbat dengan kapas tak menyerap (non-absorbent cotton). Straw yang telah diberi identifikasi seperlunya dijepit atau dietakkan pada patron yang dapat memuat 15 straw. Semen yang telah diencerkan dihisap ke dalam straw dengan menggunakan pompa penghisap yang akan dijalankan oleh tenaga listrik. Ujung straw yang terbuka ditekankan ke atas serbuk perekat polyalcohol. Kemudian straw dimasukkan ke dalam air pada penangas bersuhu 210C, dan setelah selesai semuanya, disimpan di dalam kamar dingin bersuhu 50 C untuk ekuilibrasi selama kurang lebih 12 jam. Selama waktu ini straw dikeringkan dan ditempatkan di atas grill. Spermatozoa umumnya dipak atau dibungkus dalam polyvinyl chlorida dalam bentuk straw dengan volume antara 0,25-0,50 ml. Metode standar pembekuan straw adalah penggantungan satu-satu ke dalam rak beruap Nitrogen. Semakin cepat pembekuan semen, lebih baik hasilnya (Murtidjo, 1993).

2.6. Pelaksanaan Inseminasi Buatan

Dahulu dikenal 2 metode inseminasi pada sapi yaitu dengan menggunakan speculum atau vaginoskop dan metode rektovaginal.
Metode vaginoskop atau alat penguak vagina yang terdiri dari gelas, plastic atau logam dengan diameter yang sesuai. Dengan bantuan lampu yang terdapat di ujung vaginoskop dan menerangi cervix, dan dengan suatu pipet inseminasi terdiri dari gelas atau plastik yang cukup panjang, semen dideposisikan ke dalam pangkal cervix.
Metode rektovaginal dilakukan dengan mendahulukan pemasukan pipet inseminasi ke dalam vagina sebelum memasukkan tangan ke dalam rektum  (Toelihere, 1985). Inseminasi rektovaginal dilakukan dengan cara memasukkan tangan yang bersarung karet ke dalam rectum ternak untuk memegang cervix. Pipet inseminasi dimasukkan ke dalam cervix dengan pengarahan tangan yang bersarung karet di dalam rektum. Pemasukan pipet inseminasi ke dalam vagina sebaiknya dengan ujung menghadap ke atas dengan sudut 20-30 derajat (Salisbury dan Vandemark, 1985).

2.7. Penilaian Inseminasi Buatan
Pada perkawinan normal jarang ditemukan suatu keadaan dimana hewan jantan dan betina mencapai kapasitas kesuburan 100%. Walaupun masing-masing mencapai tingkatan kesuburan 80%, pengaruh kombinasinya menghasilkan anka konsepsi sebesar 64%. Teknik Inseminasi yang baik akan mempertahankan nilai ini, akan tetapi setiap penurunan efisiensi reproduksi merupakan suatu persamaan factorial dari ketiga variabel yaitu prosentase kesuburan jantan x prosentase kesuburan betina x prosentase efisiensi kerja inseminator (Toelihere, 1985). Sebaiknya  dalam satu kali inseminasi hanya dipergunakan sejumlah kecil volume semen, karena jumlah semen yang besar dapat menimbulkan kesakitan pada domba betina, serta dapat membanjiri vagina. Angka konsepsi yang dapat dicapai dalam satu kali inseminasi berkisar antara 50-80% (Murtidjo, 1993).

BAB III

ALAT, BAHAN DAN METODE
Praktikum Teknologi Bioreproduksi dengan materi Inseminasi Buatan dilaksanakan pada hari Jumat, tanggal 18 April 2008 di Laboratorium Ilmu Pemuliaan dan Reproduksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang. Dalam materi ini ada tiga tahapan yang harus dikerjakan,yaitu penambilan atau penampungan semen, perawatan semen, dan Inseminasi Buatan.

3.1. Alat Dan Bahan

Bahan yang digunakan pada praktikum Inseminasi Buatan ini antara lain :
1 seekor domba betina pemancing
2.seekor domba pejantan
3.semen cair hasil penampungan
4.air hangat
5.sodium sitrat 0,29 gram
6.aquades 10 ml, da
7 kuning telur 17 ml .
Sedangkan alat yang digunakan antara lain :
vagina buatan, speculum, pompa, mikroskop, pipet hisap berskala, haemocytometer, indicator universal, tabung reaksi, pipet ukur, objek glass, deck glass, squit, beker glass, alumunium foil, timbangan.



3.2. Metode

Metode yang dilakukan adalah pembuatan pengencer, penampungan semen, pemeriksaan semen, pengenceran semen, pengemasan semen dan pelaksanaan Inseminasi Buatan pada domba.

3.2.1. Pembuatan pengencer
Pengencer yang akan digunakan adalah sitrat kuning telur. Pembuatan pengencer akan diawali dengan pembuatan stock solution yaitu larutan natrium sitrat, selanjutnya dilakukan mencampur kuning telur yang telah dihilangkan selaput kuning telurnya dan kemudian menyaring kuning telur tersebut, menyimpan pengencer dalam lemari pendingin dengan suhu 2-8°C.

3.2.2. Penampungan semen
Penampungan semen domba dilakukan dengan menggunakan metode vagina buatan. Untuk pemancing digunakan betina berahi atau pejantan pemancing.

3.2.3. Pemeriksaan semen
Pengamatan makroskopis yaitu dengan pengamatan volume, warna, kekentalan dan bau semen. Pengamatan mikroskopis yaitu dengan penilaian  motilitas, konsentrasi, hidup/mati spermatozoa dan gerakan massa spermatozoa.

3.2.4. Pengenceran semen
Pengenceran semen diawali dengan penghitungan angka pengenceran semen. Bahan pengencer yang digunakan adalah sitrat kuning telur.




3.2.5. Pengemasan semen
Pengemasan semen dilakukan dengan menggunakan ministraw. Proses pemasukan (filling) semen dilakukan dengan menggunakan spuit, sedangkan proses penutupan straw dilakukan dengan menggunakan manual sealing machine.

3.2.6. Pelaksanaan Inseminasi Buatan pada domba
Pelaksanaan inseminasi pada domba dilaksanakan dengan metode speculum atau vaginoskop.


  

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pembuatan pengencer
Pembuatan pengencer menggunakan sitrat kuning telur dimana kuning telur berfungsi sebagai sumber energi.
Langkah – langkah dalam pembuatan pengencer:
1.Membuat stock solution dengan bahan sodium sitrat dan mencampurnya dengan aquades 10 ml.
2.Mencampur kuning telur yang telah dihilangkan selaput kuning telurnya dan menyaring menggunakan kertas saring.
3.Menyimpan dalam lemari pendingin dengan suhu 2-8°C selama satu hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury dan Van Demark (1985) yang menyatakan bahwa fungsi kuning telur antara lain mencegah terjadinya shock dingin karena mengandung lechitine,melindungi kesempurnaan sifat koloit karena mengandung lipoprotein, sebagai makanan spermatozoa karena mengandung glukosa, vitamin dan bermacam-macam asam amino serta mencegah terjadinya glutinasi karena dapat menghalangi teroksidasinya anti glutinasi.

4.2. Persiapan pejantan yang akan ditampung
Pejantan pada saat praktikum tingkah lakunya baik dan memiliki kemampuan untuk menaiki betina sangat agresif. Selain itu pejantan yang dipilih memiliki keturunan yang baik dari induknya. Hal ini sesuai dengan pendapat(Salisbury dan Vandemark, 1985) yang menyatakan bahwa perlakuan yang baik dan hati-hati terhadap pejantan diperlukan untuk memberikan rangsangan sebagai persiapan sebelumnya, karena rangsangan ini akan dapat menaikkan kualitas dan kuantitas semen yang ditampung. Dijelaskan lebih lanjut oleh (Partodihardjo, 1980) yaitu pemilihan pejantan yang baik lebih mudah dan lebih cepat dilaksanakan hingga pejantan yang baik dapat di sebarkan bibitnya sewaktu ia berumur muda, hal ini dapat diterangkan sebagai berikut; seekor pejantan dari keturunan baik setelah dewasa di ambil semennya dan disebarkan ke hewan-hewan betina yang berada dalam kondisi yang berbeda.

4.3. Penampungan semen
Penampungan semen menggunakan vagina buatan yang dipakai pada saat praktikum terdiri dari ebonit, tulip, karet pengikat, tali atau karet, air hangat dengan temperatur 470C dan pelicin.
Tabung ebonit adalah bagian dari vagina buatan yang berfungsi untuk penampungan air panas untuk menyamakan suhu di dalamnya dengan suhu vagina aslinya, sehingga sperma bisa bertahan beberapa menit. Tabung ebonit ini sudah terpasang karet tipis yang telah dilipat dan diikat. Saat akan melakukan penampungan tabung ini akan dipasang tabung penampung pada bagian ujungnya dan akan diolesi pelicin sepertiga dari vagina buatan.
Tabung ini terdapat pentil pada bagian atas yang berfungsi untuk memasukkan air hangat. Pada bagian dalam tabung ebonit dipasang sebuah termometer untuk mengukur suhu air di dalam tabung sehingga tahu saat yang tepat untuk menggunakan vagina buatan sebagai alat untuk menampung semen, karena suhu didalam vagina buatan sangat mempengaruhi kondisi semen selama penampungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Toelihere (1985) yang menyatakan bahwa suhu yang tepat dapat ditentukan di tempat penampungan memakai thermometer steril yang berkapasitas sampai 1000 C. Lebih lanjut dijelaskan bahwa apabila suhu vagina buatan terlampau rendah, pejantan tidak mau berejakulasi; kalau terlalu panas, akan membunuh spermatozoa atau menyakiti pejantan dan menyebabkan takut atau enggan melayani vagina buatan.

4.4. Pemeriksaan semen

Pemeriksaaan semen meliputi pemeriksaan makroskopis dan pemeriksaan mikroskopis.
4.2.1. Pemeriksaan makroskopis
Pemeriksaan makroskopis adalah pengamatan visual terhadap semen. Pengamatan yang dilakukan adalah:
1)Volume semen
Berdasarkan hasil praktikum didapat volume semen sebanyak 1 ml. Volume ini termasuk normal. Hal ini sesuai pendapat Partodihardjo (1980) yang menyatakan bahwa volume domba sebesar 1ml.
2)Warna semen
Berdasarkan praktikum didapat warna semen putih susu. Warna ini menunjukkan semen normal.
3)Konsistensi semen
Berdasarkan praktikum didapat bahwa konsistensi semen domba tinggi. Hal ini berarti plasma semen dalam jumlah yang sedikit, sehingga konsentrasi sperma tinggi. Konsistensi merupakan derajat kekentalan.
4.2.2. Pemeriksaan mikroskopis
Hasil pemeriksaan dari semen domba diperoleh Progresive Motility (PM) semen 75%. Partodihardjo (1982) menyatakan bahwa jumlah spermatozoa yang bergerak ditaksir dan dinyatakan dalam persen dibandingkan dengan yang tidak bergerak sedangkan perbedaan penaksiran hanya dalam puluh persen jadi janganlah ditaksir sedemikian detailnya misalnya sampai 25%, 32% tetapi cukup dengan 50%, 60%, 80% dan sebagainya.
Berdasarkan praktikum didapatkan persentase sperma yang hidup sebesar 75%. Hal ini sesuai dengan pendapat Partodihardjo (1980) yang menyatakan bahwa pada waktu semen segar dicampur dengan zat warna tertentu maka spermatozoa yang hidup tidak menghisap warna atau kalaupun menghisap hanya sedikit saja. Berbeda dengan sel yang mati, sel ini secara kenyang menghisap zat warna sehingga dibawah mikroskop terlihat jelas perbedaan antara sel-sel yang manghisap zat warna dan yang tidak menghisap zat warna.
Konsentrasi sperma. Berdasarkan hasil praktikum didapat konsentrasi sperma 3500 x 106 ml/mm3. Konsentrasi sperma ini termasuk tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Partodihardjo (1980) yang menyatakan bahwa konsentrasi sperma sebesar 300 x 107 ml/mm3.

4.5. Pengenceran semen
Berdasarkan hasil praktikum volume semen setelah diencerkan adalah 10,5 ml, dan volume pengencer sebanyak 10,2 ml.
Bahan pengencer adalah sitrat kuning telur. Salisbury dan Van Demark (1985) menyatakan bahwa fungsi kuning telur antara lain mencegah terjadinya shock dingin karena mengandung lechitine, melindungi kesempurnaan sifat koloit karena mengandung lipoprotein sebagai makanan spermatozoa karena mengandung glukosa, vitamin, dan bermacam-macam asam amino serta mencegah terjadinya glutinasi karena dapat menghalangi teroksidasinya antiglutinasi.
Fungsi dari pengencer tersebut adalah untuk memperbanyak volume semen, melindungi spermatozoa, sebagai sumber nutrisi. Hal ini sesuai dengan pendapat (Partodihardjo, 1980) yang menyatakan bahwa fungsi pengenceran yaitu: 1) memperbanyak volume supaya semen yang didapat itu dibagi-bagi untuk memenuhi tujuan, menginseminasi banyak betina dari satu ejakulasi; 2) pelindung spermatozoa yaitu pengencer harus mengandung komponen-komponen buffer, sehingga dapat mempertahankan pH dalam waktu lama; 3) sumber nutrisi yaitu mengandung sumber energi yang diperlukan sperma untuk mempertahankan hidupnya dalam waktu lama di luar tubuh; 4) bakteriostatik atau bakteriside yaitu pengencer harus mengandung zat-zat sehingga jasad renik dalam semen dapat dihentikan aktivitasnya.

4.6. Pembekuan semen
Sebelum pembekuan, melihat motilitas sampel straw dengan menggunting bagian tengah straw lalu meneteskan ke objek glass dan menambah NaCl kemudian menutup dan mengamati dengan perbesaran 100x, menuangkan nitrogen cair ke container lalu mencelupkan straw ke nitrogen cair dengan mengambil straw dengan magnet dan menggantung satu-satu, menaruh goblet, menaruh canister posisi gotri di atas, memasukkan container kemudian menutup container tersebut selama 10 menit. Menurut (Murtidjo, 1993) metode standar pembekuan straw adalah penggantungan satu-satu ke dalam rak beruap nitrogen. Semakin cepat pembekuan semen, lebih baik hasilnya.

4.7. Pelaksanaan Inseminasi Buatan
Noor (2002) menyatakan bahwa prosedur thawing adalah menempatkan straw dalam air hangat dengan suhu 34-360C selama 30 detik atau lebih, mengusahakan agar straw tidak semuanya tenggelam dalam air dan suhu cairan thawing harus selalu diukur dengan menggunakan termometer. Pernyataan tersebut sesuai dengan pelaksanaan sebelum melaksanakan IB dilakukan thawing dengan cara mengambil semen beku dalam canister di dalam container, kemudian memasukkannya ke air hangat bersuhu 370C selama 30 detik.
Hal pertama yang dilakukan sebelum melaksanakan IB adalah menyiapkan domba betina berahi dan alat-alat, serta melakukan thawing. Setelah itu proses selanjutnya adalah mengelap dan memotong ujung straw. Kemudian ujung straw yang terpotong dimasukkan ke insemination gun. Menurut Noor (2002), straw harus dijepit pada ujungnya untuk menghindari perubahan suhu yang mendadak, angkat straw dari cairan thawing dan lap sisa-sisa cairan thawing dengan menggunakan kertas pengisap, pegang ujung straw yang ada penyumbat kapasnya dengan menggunkan ibu jari dan telunjuk kemudian melakukan pemilinan untuk mengendorkan penyumbat.
Setelah itu memasukkan insemination gun ke vagina dan menembakkan isinya ke dalam. Kemudian mengeluarkan insemination gun dengan cara memutar spekulum secara vertikal dan tarik keluar. Hunter (1995) menyatakan bahwa inseminasi dalam serviks dengan spekulum dilakukan dengan  mengarahkan pipet inseminasi dari plastik sekali pakai atau pipa jerami ke mulut serviks dengan bantuan tangan lewat dinding rectum untuk mengangkat serviks, dan selanjutnya pipet dimasukkan ke dalam saluran serviks. Dijelaskan lebih lanjut bahwa dalam satu kali inseminasi hanya dipergunakan sejumlah kecil volume semen, karena jumlah semen yang besar dapat menimbulkan kesakitan pada domba betina, serta dapat membanjiri vagina.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari Praktikum Inseminasi Buatan adalah
1.Mengetahui tentang peralatan berbagai macam peralatan inseminasi buatan kita dapat mengetahui penggunaan alat tersebut beserta fungsi dan waktu yang tepat dalam penggunaannya.
2.Mengetahui dan mendapatkan simulasi untuk melaksanakan inseminasi buatan yang baik, tepat sesuai prosedur sehingga jika terus terlatih dalam hal inseminasi maka diharapkan hasil yang diperoleh dalam inseminasi buatan lebih baik dan memuaskan, hal tersebut semuanya didukung oleh pengetahuan kita dalam inseminasi buatan serta ketrampilan dan kemampuan kita dalam inseminasi buatan.

5.2. Saran
Pemilihan domba betina yang sedang berahi dan domba jantan yang mempunyai kualitas sperma yang bagus akan lebih memperlancar kegiatan praktikum.


DAFTAR PUSTAKA


Blakely, J dan David H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press,Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh: Bambang Srigandono dan Soedarsono).

Hunter, R. F. 1995. Fisiologi dan Tekonologi Reproduksi Hewan Betina Domestik. Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung. (Diterjemahkan oleh : D. K. Harya Putra).
Murtidjo, A. 1993. Memelihara Domba. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Penerbit Mutiara. Jakarta.

Salisbury, G. W., N. L. Van de mark dan R. Djanuar. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Toelihere, MR. 1985. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.


0 Comments:

Posting Komentar